Persahabatan yang Tertunda
Seseorang yang tampaknya ku
kenal, benar-benar tak asing bagiku ketika pertama kali menatap dia di acara
ulang tahun sekolahku. Yups!! Tepatnya saat lomba tarik tambang yang juga ikut
memeriahkan acara itu, disitulah awal pertemuanku dengannya... Hmm,,,
tatapannya pun seperti mengenaliku. Aha!! Itu dia sahabat lamaku yang telah
lama berpisah sejak kelulusan kami dari SMPN 1 Kartini. Dan, sekarang dia hadir
disini? Apa dia juga akan bersekolah disini? Wow!! Jawaban yang kubutuhkan
adalah ia. Hehehe...^_^ Tak sabar diriku ingin segera bercakap-cakap dengan
dirinya, melepas rasa kangen yang selama ini meliputi diriku.
“Ciaaaaa,,,,” teriakku
memanggil namanya. “Riani?” tolehnya sambil berlari menghampiriku. Setelah dia
tiba di hadapanku, dia langsung merangkulku sambil berkata, “Duh, sudah lama
sekali ya, kita tidak bertemu, apa kamu disini baik-baik saja? Udah dapet teman
baru? Namanya siapa? Kenalin donk?”. Pertanyaan beruntun pun dilontarkan,
tampaknya bukan aku yang akan berbicara banyak, tapi dialah yang akan menyita
waktuku untuk menjawab semua pertanyaannya. “Huuffhh,,, satu-satu donk kalo
nanyanya, bingung nih jawabnya. Dasar!! Dari dulu sampai saat inipun, kamu tak
pernah berubah. Masih cerewet, pecicilan, hmm,, jangan-jangan masih saja jail?”
sambutku, sambil menjewer pipinya. “Hahaha,,, Mau dijadiin objek praktek nih?”
tanyanya sambil mengedipkan matanya, tanda akan berbuat sesuatu. “Hah? Aku?
Dijadiin objek praktek? Emang katak apa? Dasar!!” cegatku sambil mendorong
jidatnya. “Aduuhh, nih anak, emang ya...” belum selesai dia berbicara,
datanglah seorang yang juga teman baik kami berdua.
“Sariiiiii,,” serentak kami berteriak.
“Ciaaaa??” toleh Sari sambil terus menatapi Cia. “Iya donk, ini aku, masih
tetap unyu kan?” candanya sambil tertawa. “Hahaha, bukan cuma unyu, bahkan
masih tetap ngegemesin, iii” kata Sari sambil mencubiti pipi Cia. “Aduh, sakit
tau, aku yang ngegemesin atau kamu yang tambah lebar, hahaha” ucap Cia sambil
memegangi pipinya yang memerah akibat ulah Sari. Mendengar itu Sari hanya
cengingisan gak jelas.
Namun belum selesai kami
bercakap-cakap, X.1 sudah dipanggil untuk mengikuti pertandingan bola volly.
Kami pun menghentikan percakapan kami, dan merapat ke tempat pertandingan. Kami
sangat menikmati pertandingan tersebut sambil melanjutkan cerita tentang
masa-masa indah saat kami bertiga masih bersama-sama di bangku SMP. Mulai dari
menjaili Sari, Suryo dan Sandri, mengoceh tentang guru dan teman-teman yang
tidak kami sukai, sampai dengan mengerjai Cia ketika dia akan berangkat ke
sekolah lanjutannya di Australia.
“Eh, ngomong-ngomong kamu
ngapain ke sini?” tanya Sari. “Hmm, yang pastinya buat ngeliat Ady donk,
hahaha” candaku. “Ish, apan sih Ni, orang kesini cuma buat ngambil ijasah kok,
cuma ijasahnya masih harus melalui tahapan-tahapan tertentu, makanya aku
main-main ke sekolah kalian ini, mumpung dekat dan rasa rinduku yang membara
ini... Hahaha” jawab Cia yang berlagak seperti seorang puitisi. Gelak tawa pun
pecah melihat gaya Cia yang mulai lebay.
Namun, tawaku tiba-tiba
terhenti mengingat ucapan yang diucapkan oleh Cia. “Berarti kamu gak bakalan
sekolah disini? Gak bakalan dateng lagi setelah ini? Dan cuma sementara
disini?” ujarku sambil menahan air mata yang berlinang. Sari pun terkejut,
“Nggak kan Ci? Tolonglah, jawabannya nggak ya Ci? kamu bakalan sekolah di sini
kan Cia? Bareng sama kami lagi kayak dulu,” desak Sari pada Cia. Cia pun hanya
terdiam dan tak dapat menjawab apa-apa.
Aku pun langsung merangkul Cia
dan melepaskan semua rasa rindu yang ku pendam selama setahun, tak kusadari air
mata ini jatuh dan membasahi pundak Cia. Cia pun melepaskan rangkulanku dan
menenangkan kami berdua. “Ih, apaan sih kamu Riani! Lebay banget deh, udah
jangan nangis, malu tau diliatin orang. Cup cup cup, diam yah, hahaha,”
ketusnya sambil bercanda. “Hmm, Ciaaaaaaaa, masih sempat aja becanda, lagi
sedih ni,” sambar Sari seketika.
“Cia, mami cariin kemana-mana,
eh tau-taunya kamu lagi di sini. Udah selesai nih sayang, pulang yuk, papi udah
nungguin kita di bandara. Pamit gih sama teman-teman,” suara tante Mary
mengejutkan kami. “Eh, mami, sory yah mi, lagi asyik nih. Emang surat-suratnya
udah beres yah mi?” tanya Cia kepada maminya. “Iya sayang, yuk kita pulang,”
lanjut tante Mary.
Cia menatap ke arah kami berdua
yang sangat terkejut dengan pernyataan tante Mary. Secepat inikah? Itulah yang
terngiang di kepalaku. “Teman-teman, aku pulang dulu yah, sampe ketemu lagi,”
kata Cia singkat, yang sepertinya tak ingin berbicara panjang lebar, karena ia
tau hanya akan membuat kami berdua semakin sedih. “Cia, jangan lupain kami yah,
kapan-kapan maen ke sini lagi,”kata Sari asal bunyi.
Cia pun berlari dan merangkul
kami berdua, kami pun saling melepas rindu, yang seakan-akan tak meginginkan
kepergian Cia. “Teman-teman, persahabatan di antara kita ini hanyalah jalinan
hubungan yang tertunda karena jarak, namun tetap abadi di hati kita. Jangan
sedih yah, cintaku tetap bersama kalian, aku akan rindu banget sama kalian,”
celoteh Cia panjang lebar. “Iya Cia, baik-baik di sana yah,” jawabku melepas
kepergiannya.
Cia dan tante Mary pun pergi
meninggalkan kami. Kami melambaikan tangan pada Cia yang disambut dengan senyum
terakhir darinya.
Cia, aku akan benar-benar
merindukanmu, yaps! Benar katamu, persahabatan ini, hanyalah hubungan yang
tertunda karena jarak. Takkan ada yang dapat menggantikan posisimu di hatiku.
Kau lah sahabat terbaik yang pernah hadir dalam hidupku. Semoga sang waktu mempertemukan
kita lagi. . . .
by : Yani Kake